Praktek outsourcing atau sekarang disebut alih daya, semakin digunakan secara berjamaah oleh sebagian besar perusahaan yang ada di Indonesia. Ironis perusahaan sekelas BUMN pun yang mestinya diharapkan menjadi motor penggerak atau menjadi pionir dalam upaya mewujudkan keperpihakan kepada nasib buruh di Indonesi Namun justru sebaliknya turut menumbuhkembangkan kondisi yang memposisikan buruh dalam kondisi yang ketidakperdayaan.
Dibalik istilah modern alih daya itu, tidak jarang kerap menjadi“jalan pintas " bagi pengusaha untuk menekan biaya operasional.
Sebagaimana diketahui dalam praktek nya sistim outsourcing, perusahaan pengguna jasa tidak lagi mempekerjakan langsung karyawan. Akan tetapi mereka menyerahkan rekrutmen tenaga kerja kepada perusahaan penyedia jasa outsourcing.
Dan hasilnya, perusahaan utama bisa mengurangi beban biaya, mulai dari gaji, tunjangan, hingga kewajiban pesangon.
Inilah analisa saya dengan menyebut cara licik pengusaha menghemat ongkos operasional perusahaan. Mereka tetap dapat tenaga kerja, tapi menghindar dari tanggung jawab hukum yang seharusnya melekat pada hubungan kerja.
Bagi pengusaha, outsourcing dipandang sebagai solusi efisiensi. Biaya tenaga kerja bisa dipangkas karena gaji pekerja outsourcing biasanya lebih rendah dibanding karyawan tetap. Tunjangan seperti cuti tahunan, uang makan, transportasi, bahkan pesangon kerap tidak diberikan.
Dengan outsourcing, perusahaan bisa mempekerjakan tenaga kerja hanya sesuai kebutuhan. Begitu order menurun, pekerja langsung diputus kontrak tanpa beban tanggungan.
Sementara itu, pekerja outsourcing menanggung ketidakpastian. Kontrak pendek, seringkali hanya enam bulan atau satu tahun, membuat mereka sulit merencanakan masa depan. Banyak pula yang harus menerima gaji di bawah standar atau tidak sesuai upah minimum.
Sebelumnya, Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan baik itu UU 13/2003 dan UU Cipta Kerja sebenarnya mengatur praktik outsourcing.Namun,celah hukum kerap dimanfaatkan. Misalnya, aturan yang hanya membolehkan outsourcing untuk pekerjaan penunjang justru dilanggar. Pekerjaan inti yang seharusnya permanen juga dialih dayakan.
Di lapangan, tidak jarang buruh pabrik, bagian produksi, bahkan operator mesin dipekerjakan lewat outsourcing. Padahal jelas-jelas itu pekerjaan inti yang sesuai undang undang tidak termasuk tenaga yang di Outsourcing kan.
Hingga kini praktek seperti diatas makin merajalela seakan tidak ada lagi ruang para buruh untuk bisa merubah nasib padahal status buruh atau pekerja keberadaannya sangat jelas dilindungi oleh Undang Undang yang menjamin hak haknya.
Saya contohkan sisi gelap praktek outsourcing sebagaimana dialami saudara Husein, seorang pekerja berstatus outsourcing yang bekerja di sebuah perusahaan Bumn Pabrik Gula Semboro mengaku sudah 12 tahun bekerja, tapi statusnya tidak pernah berubah tiap tahun kontrak baru,Tidak ada pesangon, tidak ada tunjangan, semua serba sementara. Kalau protes, perusahaan bisa langsung ganti orang baru
Sekarang yang selalu saya pikirkan dan tidak habis pikir, bahwa perusahaan seperti BUMN saja terapkan praktek Outcorsing apalagi dengan pabrik swasta?
Selalu tergelitik dalam pertanyaan saya, bahkan belum saya temukan sejauhmana fungsi pengawasan yang melekat pada Instasi DISNAKER (Dinas Tenaga Kerja) yang notabene nya jelas-jelas di biayai dan dibayar oleh negara sebagai salah satu pilar penegakan hukum perburuhan.
Tampaknya para stakeholder belumlah paham beban psikologis pekerja yang terjadi di lingkungan kerja, Bagi pekerja Outsourcing, kondisi ini bukan hanya soal upah rendah, melainkan soal martabat.
Dimana mereka setiap hari bekerja, dengan dengan jumlah jam kerja sama bahkan lebih dari pencapaian target kerja, akan tetapi dianggap“pekerja kelas dua”.
Karena itu, untuk menjawab berbagai persoalan tentang perburuhan terutama yang terjadi khusus di wilayah Kab.Lumajang melalui ORGANISASI Serikat Pekerja dan LPHBI (Lembaga Perjuangan Hak Buruh Indonesia) terus berjuang tanpa henti demi terwujudnya kesejahteraan buruh. Hidup Buruh !
Sumber : DPC LPHBI Kabupaten Lumajang.
(Musdiantono).

